“Jika anda ingin beribadah sebanyak-banyaknya datanglah ke Mekkah. Jika anda ingin ilmu sebanyak-banyaknya datanglah ke Mesir. Jika anda ingin pendidikan sebanyak-banyaknya datanglah ke Gontor,”

Syai'ir Abu Nawas Di Gontor

Advertisement
Advertisement
Pondok Pesantren Darussalam Gontor yang lebih dikenal dengan pesantren Gontor, yang dahulu adalah Gon-Tor, nggon kotor, tempat kotor, tempat segala kemaksyiatan, tempat perampok, tempat judi, tempat penyamun tempat pelacuran dan lain-lain. Namun Gontor yang dulu bukanlah Gontor yang sekarang.Gontor kini berubah menjadi tempat yang penuh kedamaian, kedamaian yang sesungguhnya sesuai dengan namanya Darussalam, kampung damai. Kini kedamaian itu tidak hanya menyebar di desa Gontor saja namun lebih luas, menyebar keseluruh kabupaten Ponorogo Jawa Timur di mana pesantren Gontor berada. Sehingga masyarakat Jawa Timur patut berterima kasih kepada Gontor. Seperti yang disampaikan oleh gubernur Jawa Timur bapak Soekarwo dalam sambutannya dalam acara ulang tahun Gontor yang ke 90 bahwa terima kasih ada Ponpes sehebat Gontor di Jatim.Gontor ikut menjadikan Jatim aman, nyaman, religius dan temteram lewat dakwah yang menyejukkan. Bahkan bapak Presiden Joko Widodo pun tidak mau ketinggalan beliau menyampaikan terima kasih karena di indonesia ada ponpes Gontor.


Di Gontor selepas adzan magrib sebelum iqomah, salah seorang petugas ta`mir masjid biasa membacakan syair Abu Nawas. Bacaannya tidak hanya sekali tapi diulang dua kali, ini dimaksudkan supaya ada jeda waktu antara adzan dan iqomah sedikit lebih panjang karena menunggu jama`ah lain yang masih ngantri wudlu, supaya mereka tidak ketinggalan shalat berjama`ah. Saya masih ingat pak Bakir `marah´ kepada muadzin karena terlalu cepat iqomah sementara jama`ah lain masih banyak yang wudlu.

Berikut syair Abu Nawas yang dilantunkan menjelang shalat berjama`ah magrib :


اِلَهِيْ لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلاً  وَلاَ أَقْوَى عَلَى نَارِ الْجَحِيْمِ
فَهَبْ لِي تَوْبَةًً ًوَاغْفِرْ ذُنُوْبِي فَإِنَّكَ غَافِرُ الذَّنْبِ الْعَظِيْمِ
ذُنُوْبِِي مِثْلُ اعَدَدِ الرِّمَال    فَهَبْ لِيْ تَوْبَةً ًيَا ذَا الْجَلاَل
وَعُمْرِيْ نَاقِصٌ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَذَنْبِي زَائِدٌ كَيْفَ احْتِمَالِي
اِلَهِي عَبْدُكَ الْعَاصِي أَتَاكَ   مُقِرًّابِاالذُّنُوْبِ وَقَدْ دَعَاكَ
وَإِنْ تَغْفِرْ فَأَنْتَ لِذَاكَ أَهْلٌ    وَإِنْ تَطْرُدْ فَمَنْ نَرْجُوْ سِوَاك



Ketika syair Abu Nawas dilantunkan dengan merdu dan penuh penghayatan, dengan tempo yang tidak terlalu cepat juga tidak terlalu lambat, pertengahan pokoknya, hati saya merasa tenang, damai. Saat itulah saya panjatkan do`a hingga tak terasa air mata ini berlinang.
Jika saya mendengar atau membaca syair Abu Nawas ini hati ini merasa rindu ingin mengulang kembali ke suasana itu.

Advertisement