Di
waktu senggang saya biasa buka FB (face book), di situ saya melihat-lihat reel,
video pendek, durasi kurang dari satu menit. Hingga lewat lah sebuah reel,
entah dari chanel atau akun apa, saya tidak begitu ingat, tapi yang jelas dalam
video tersebut ada Bung Helmi Yahya sedang memberi motivasi. Kurang lebih beliau
bilang begini “ ada ungkapan begini, atau orang Betawi bilang “ kalau rezeki
gak kan ke mana(mana).” Bung Helmi bilang ungkapan itu salah, harus diubah,
justru kalau rezeki itu harus kemana-mana,” kita harus berusaha, keluar rumah,
jangan bangun kesiangan, nanti rezekinya keburu dipatok ayam, kita harus
merantau kerja keras, kepasar, jual ini jual itu, berdagang.
Saya
lihat di kolom komentar ada yang membantah, ada juga yang mendukung ungkapan Bung
Helmi ini. Ada yang menyangkal bilang begini, Bung Helmi coba lihat bayi dalam
kandungn 9 bulan, dia bisa hidup, padahal gak kemana-mana.” Ada juga yang mendukung
ungkapan Bung Helmi, mereka bilang, betul banget Bung Helmi, saya setuju, terima
kasih atas motivasinya.
Buat
saya, pendapat atau ungkapan orang Betawi maupun Bung Helmi, tidak ada yang
salah, dua-duanya benar, cuma cara pandang saja yang berbeda. Sejauh yang saya
ketahui, yang saya peroleh dari guru saya dalam pengajian, bahwa di dunia ini
kita punya dua cara pandang, cara pandang hakikat dan syari’at.
Yang mana kedua-dunya harus dipakai, seperti halnya sepasang sandal, kiri dan
kanan, gak bisa kita memakai sandal yang kanan saja, atau yang kiri saja , tapi
harus dua dunya. Atau seperti halnya rel kereta api, harus dipakai dua-duanya,
beriringan, dan gak bisa dibentur-benturkan. Mungkin kita juga pernah mendengar
ungkapan dalam Bahasa inggris, “Man Proposes God Disposes” manusia berencana,
Tuhan yang menentukan. Sekeras apapun usaha kita, tetap Allah-lah penentunya.
Sekeras apapun kita berusaha, sekencang apapun kita mengejar, jika Allah telah
menetapkan bahwa sesuatu itu bukanlah rezeki kita, maka tidaklah sesuatu itu
akan jadi milik kita. Ini adalah cara pandang hakikat. Mungkin juga temen-teman pernah mendengar
ungkapan dalam Bahasa arab, “Man jadda wajada,” barang siapa bersungguh-sungguh
maka dapatlah ia, atau dalam bahasa indonesia“ usaha tidak akan mengkhianati
hasil.” Siapa saja yang mempunyai keyakinan, melakukan, totalitas, dan
konsisten akan mendapatkan hasil berupa keberhasilan dan kesuksesan. Itulah
hukum alam yang berlaku bagi siapa saja,Ini adalah cara pandang syari’at yang
harus kita jalani di dunia ini, yang mana disana berlaku sunnatullah, ada sebab
akibat, hukum kausalitas.
Tentu kawan-kawan ingat kisah
“perdebatan” Imam Malik dan Imam Syafi’i soal rezeki seperti yang saya kutip
dalam kajian hikmah di Hidayatullah.com
Diceritakan bahwa Imam Malik, guru Imam Syafi’i
berkata “ sesungguhnya rezeki itu datang tanpa sebab, cukup dengan bertawakal
kepada Allah, niscaya Allah akan memberikan rezeki. Lakukan bagianmu, lalu
biarkan Tuhan yang mengurus sisanya.”
Imam Syafi’I berkata “ jika burung tidak
keluar dari sangkarnya (sarang) bagaimana mungkin ia mendapat rezeki?” Guru dan
murid itu pun tetap teguh dalam pendapatnya masing-masing.
Suatu hari Imam Syafi’i pergi
jalan-jalan dan melihat sekelompook petani sedang memanen anggur. Beliau
juga membantu para petani.
Setelah
pekerjaannya selesai, Imam Syafi’i menerima imbalan berupa beberapa ikat anggur.
Imam Syafi’i senang bukan karena mendapat anggur, tetapi karena hadiah itu
menguatkan pendapatnya.
Imam
Syafi’i akhirnya segera menemui gurunya, Imam Malik. Sambil meletakkan semua
anggur yang dibawanya, beliau menceritakan, dan sedikit mengeraskan kalimatnya,
”Jika saya tidak keluar dari gubuk dan melakukan sesuatu (membantu petani memanen
anggur), tentu anggur tidak akan pernah sampai ke tangan saya.”
Mendengar
perkataan Imam Syafi’i, gurunya Imam Malik tersenyum sambil mengambil anggur
dan mencicipinya.
Lalu
Imam Malik berkata dengan lembut, “Hari ini saya tidak keluar, cuma mengambil
pekerjaan sebagai guru, dan sedikit berpikir alangkah baiknya jika di hari yang
panas ini saya bisa menikmati anggur. Tiba-tiba engkau datang membawakanku
beberapa buah anggur segar. Bukankah ini juga bagian dari rezeki yang datang
tanpa alasan. Cukup dengan
tawakkal kepada Allah, pasti Allah akan memberikan Rezeki. Lakukan bagianmu,
lalu biarkan Allah yang mengurus sisanya.”
Akhirnya, guru dan murid itu saling
tertawa. Begitulah cara para ulama melihat perbedaan, bukan dengan menyalahkan
orang lain dan hanya membenarkan pendapat mereka. Imam Malik melihat dengan cara
pandang hakikat, sementara Imam Syafi’i melihat dengan cara pandang syari’at. Semoga
bisa menjadi pelajaran bagi kita semua. Bahwa hakikat dan syari’at harus
dipakai dua-duanya, dan jangan dibentur-benturkan.
Kata guru saya bahwa jika seseorang
cenderung dengan pandangan hakikat, dan mengesampingkan syari’at maka akan jadi
“kafir” jabariyah, dan jika seseorang lebih condong ke syari’at dan
mengesampingkan hakikat, maka ia akan jadi “kafir” Qodariyah.
Wallahu a’lam bish-shawab