“Jika anda ingin beribadah sebanyak-banyaknya datanglah ke Mekkah. Jika anda ingin ilmu sebanyak-banyaknya datanglah ke Mesir. Jika anda ingin pendidikan sebanyak-banyaknya datanglah ke Gontor,”

Pelatihan Guru RA di Gontor

Advertisement
Advertisement


Dua tahun Setelah saya wisuda, (S1) saya berusaha mengamalkan ilmu yang saya peroleh dengan terjun langsung mengajar  di jenjang pendidikan dari tingkat yang paling bawah sampai tingkat menengah. Dulu ketika saya masih nyantri di Gontor, saya mengikuti pembekalan atau pelatihan, yang dilaksanakan kurang lebih satu bulan, dan kegiatan pembekalan ini khusus untuk siswa akhir. Sehingga ketika saatnya terjun ke masyarakat para santri sudah dibekali dengan berbagai ilmu pengeahuan.
Salah satu pembekalan yang saya ikuti adalah cara mengajar di tingkat paling bawah, RA, TKA/TPQ, atau apa lah namanya, kalau yang sekarang ini ada juga yang disebut dengan PAUD. Pembekalan atau pelatihan ini saya ikuti, asal mengikuti saja, tidak ada keseriusan. Dari mulai cara bagaimana memulai kegiatan belajar mengajar, bernyanyi untuk anak-anak, mendiamkan anak yang nakal, menenangkan kelas yang ramai atau bahkan mendiamkan anak yang nangis. Sekali lagi, saya asal mengikuti saja. Karena (mohon maaf) masa saya lulusan Gontor mengajar di tingkat paling bawah, TK, TPQ dan sejenisnya.
Kemudian setelah saya lulus S1 saya  tidak langsung mengajar di sekolah-sekolah, tapi saya masih mencoba mencari pesantren untuk saya belajar ilmu agama lebih dalam di daerah saya sendiri, di dalam kabupaten sendiri. Ayah saya menganjurkan supaya saya mendalami ilmu hakikat (tasawuf/tauhid). Pertama saya mendatangi pesantren (salafi) di mana ayah saya sering mengikuti pengajian mingguan setiap jumat pagi, yang mana pengajian ini juga diikuti oleh para asatidz yang jumlahnya ribuan. Tapi karena letaknya di daerah, mungkin bisa dikatakan di pedalaman, jauh dari keramaian, maka saya putuskan untuk tidak nyantri di pesantren ini.

Baca juga : DO’A-DO’A DALAM KEHIDUPANSEHARI-HARI

Berikutnya saya datangi pesantren terbesar di kabupaten saya. Banyak ajengan/tokoh agama lahir dari pesantren ini. Terletak tidak jauh dari kota. Dilihat dari bangunannya pesantren ini lebih modern sedikit. Bila dibanding dengan pesantren yang pertama saya datangi. Santrinya pun lumayan banyak. Tapi setelah beberapa jam saya amati, saya perhatikan, pesantren ini, mohon maaf (kurang) menjaga kebersihan. Padahal saya yakin semua santri tahu betul hadits yang berbunyi “annadzoofatu minal iimaani” bersih itu sebagian dari iman. Tapi itulah kita, kita baru bisa (ber)ilmu, belum bisa amal.”al-‘ilmu bilaa ‘amalin kasy-syajari bilaa tsamarin” ilmu tanpa amal bagai pohon tanpa buah. Bahkan ada sebuah anekdot, kalau kita mencari sebuah masjid di kota, gampang, cari saja bau pesing. Kalau sudah dapat pasti di situ ada masjid. Astagfirullah, itu adalah sebuah penghinaan terhadap islam. Itu tanda memang bahwa kehidupan orang islam belum tentu islami, sekalipun hal kecil yang sepertinya gampang dilakukan yaitu kebersihan. Dari beberapa artikel yang saya baca ternyata orang islam yang paling islami itu bukan Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, bukan arab Saudi di mana agama islam dilahirkan, tapi ternyata kehidupan muslim yang paling islami adalah di new zealand yang mana muslim di Negara tersebut adalah minoritas.
Karena alasan yang saya sebutkan tadi saya pun tidak nyatri di pesantren ini. Mungkin karena dulu waktu di Jawa Timur terbiasa dengan lingkungan yang rapi, indah bersih, jadi saya mencari pesantren yang demikian. Pencarian saya berlanjut, akhirnya ayah saya menganjurkan untuk nyantri di pesantren kecil, yang mana pemiliknya adalah putra dari pesantren yang pertama saya datangi. Terletak di utara kabupaten saya, jarak dari kota sekitar 30 KM. Pesantren ini cukup rapi bersih. Maka saya putuskan untuk nyatri di pesantren ini.
Sebulan sudah saya nyantri di pesantren ini, saya mendapat tugas yang sebelumnya tidak pernah terlintas dalam pikiran saya. Pimpinan pesantren menyuruh saya untuk mengajar di RA. Dikarenakan ustadzah yang biasa mengajar sudah mengandung 8 bulan sehingga harus mengurangi aktifitasnya. Akhirnya pimpinan pesantren menyerahkan ke saya. Dengan terpaksa akhirnya saya menyanggupinya. Karena pada saat itu belum ada jaringan internet seperti sekarang ini, HP pun belum sebagus seperti saat ini, seperti adroid, yang mana kita tinggal cari gi google apapun yang ingin kita tahu. Oleh karena itu saya coba kembali untuk membongkar memori, membuka kembali ilmu yang saya peroleh sewaktu saya di Gontor bahwa dulu pernah mengikuti pembekalan atau pelatihan cara bagaimana menjadi guru di RA yang mana trainernya langsung didatangkan dari Jogja TEAM AMM. Setelah saya coba mengingat ternyata tidak ada yang saya ingat kecuali sedikit. Karena memang saya dulu mengikuti pelatihan tersebut asal mengikuti saja, tidak ada keseriusan, tidak ada kesungguhan, saya benar-benar menyesal. Padahal dari pelatihan tersebut saya mendapatkan buku lagu-lagu islami dan beberapa buku yang lain. Tapi entah di mana buku-buku tersebut. Saya sungguh menyesal. Jadi benar, apapun yang kamu lihat, yang kamu dengar, yang kamu rasakan, yang kamu dapatkan di Gontor adalah pendidikan.

Advertisement