“Jika anda ingin beribadah sebanyak-banyaknya datanglah ke Mekkah. Jika anda ingin ilmu sebanyak-banyaknya datanglah ke Mesir. Jika anda ingin pendidikan sebanyak-banyaknya datanglah ke Gontor,”

Gontor Itu NU Atau Muhammadiyah??

Advertisement
Advertisement
Assalamu`alaikum Wr.wb. Apa kabar semuanya? Semoga sehat selalu dan selalu dalam lindungan-Nya. Amin. Tulisan ini saya buat untuk memberikan jawaban atas pertanyaan, terutama di masyarakat (akar rumput), Apakah Gontor Itu NU Atau Muhammadiyah?? Dan mudah-mudahan menjadi pencerahan bagi seluruh ummat islam yang ingin mengenal Pesantren Gontor lebih dekat umumnya, khususnya bagi para (calon) santri, (calon) wali santri, para orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya ke Pesantren Gontor. Sehingga kita mengenal Gontor tidak seperti orang buta mengenal gajah dan pada akhirnya gagal menyekolahkan anak-anak kita ke Gontor.

Baca Juga : Benarkah Ijazah Gontor Tidak Diakui??
Baca Juga : Pengalaman Pertama Ngobrol Dengan Bule (Bagaimana Saya Memulai)

Saya masih ingat pesan bapak pimpinan ketika memberikan pesan dan nasehat kepada seluruh santri menjelang libur panjang sewaktu saya masih nyantri di Gontor. Beliau berpesan jika ada yang bertanya apakah Gontor itu NU atau Muhammadiyah, maka jawablah  Gontor bukan NU bukan Muhamadiyah. Pun demikian ketika ada yang bertanya kepada beliau (Pak Syukri). “ Pak kiai, Gontor itu NU atau Muhamadiyah??” “ Gontor bukan NU bukan Muhamadiyah, ada pun saya Muhammad NU-lah begitu kira-kira”. Jawab pak kiai. Juga dalam sambutan yang di sampaikan oleh Pak Kiai Hasan dalm sambutannya ketika pengumuman kelulusan calon pelajar pada tahun 2017 di depan gedung balai pertemuan. "Kalaupun seluruh guru Gontor orang Muhammadiyah, Gontor tidak boleh di Muhammadiyah-kan. Kalaupun seluruh guru Gontor orang NU, Gontor tidak boleh di NU-kan". Gontor tidak beraviliasi ke partai, organisasi dan golongan tertentu, agar bisa menjadi perekat umat, bebas dari tarik menarik kepentingan, dan bertekun dalam aktivitas pendidikan. Tentunya golongan yang dimaksud adalah golongan umat islam yang mu'tabar, yang perbedaan satu dengan lainnya hanya dalam strategi perjuangan dan ijtihadiyah furu'iyah, bukan golongan yang menyimpang secara prinsip dan aqidah. Menarik-narik Gontor ke arah golongan tertentu adalah pengkhianatan. Secara pribadi guru dan murid tidak dilarang menjadi simpatisan organisasi masa Islam yang ada, tetapi secara kelembagaan haram Gontor dibawa-bawa ke ormas ataupun orpol tertentu.



Dalam buku yang berjudul "Gontor Menerobos Mitos : Menelusuri Jejak dan Kiprah Gontor, Tasirun Sulaiman mengungkapkan bahwa terlalu sempit dunia ketika orang harus hidup dengan dunia yang dia ciptakan sendiri. Padahal Tuhan telah menciptakan dunia yang sangat luas dan lebih indah dan memesona ketimbang reka imajinasinya. Gontor harus menjadi milik umat. Gontor berdiri di atas dan untuk semua golongan.

KH. Hasyim Muzadi, Tokoh NU Alumni Gontor


Kira-kira setahun yang lalu ada salah satu murid terbaik di mana saya mengajar saat ini ingin masuk Gontor. Memang saya sarankan dia untuk masuk Gontor karena memang anak yang satu ini bisa dikatakan terbaik-lah dari sekian banyak siswa yang ada di sekolah. Dia bagus hampir di semua mata pelajaran. Bahasa arabnya bagus, kaligrafinya bagus, bahasa inggrisnya bagus. Maka tidak heran kalau di setiap ada  lomba pidato arab-inggris antar sekolah dia selalu pulang membawa piala. Maka selalu saya katakan ke dia kalau kamu masuk gontor kamu hebat, bakal jadi orang hebat, potensi yang kamu miliki insyaallah tersalurkan.

Baca juga : Banyak Cerita Di Gontor

Menjelang akhir tahun pelajaran akhirnya dia setuju dan mau melanjutkan sekolah ke Gontor. Orang tuanya pun setuju, karena memang orang tuanya kenal dengan beberapa alumni Gontor, dan tahu kualitas alumninya. Orang tuanya sempat datang beberapa kali ke rumah saya berkonsultasi, menanyakan seperti apa Gontor itu, kegitannya apa saja, bagaimana disiplinnya, rute untuk sampai ke Gontor naik apa, dan juga menanyakan biaya pendaftaran dan biaya bulanan ke depan.

KH. Din Syamsuddin, Tokoh Muhammadiyah Alumni Gontor

Akhirnya setelah mempertimbangkan segalanya, setelah pengumuman kelulusan sekolah, orang tuanya menelpon saya bahwa saya harus ikut mendaftarkan anakya ke Gontor. Saya pun mengiyakan. Rencananya kita ke sana naik kereta ekonomi biar murah, dan yang paling penting kita bisa sampai ke sana dengan selamat. Maka dipersiapkanlah segala apa yang dibutuhkan di Gontor, dari mulai sikat gigi sampai seragam, juga sepatu pantopel hitam.

Baca juga : BANYAK CERITA DI GONTOR PART II

Empat hari sebelum keberangkatan orang tuanya menelpon saya lagi. Katanya mau ke Banjar juga ke Cilacap untuk pamit minta izin juga doa kepada keluarganya yang lain bahwa anaknya mau sekolah ke Gontor dan juga sekalian beli tiket kereta, karena sekarang tiket kereta harus dibeli jauh-jauh hari, minimal sehari sebelum keberangkatan. Kalau dulu tiket kereta bisa dibeli langsung dadakan, bahkan selama kereta masih ada di stasiun maka pembelian tiket masih dilayani. Jadilah penumpang kereta ekonomi bejubel, penuh sesak, panas. Bahkan kalau sudah larut malam ada beberapa penumpang yang rela tidur di kolong tempat duduk. Berbeda dengan sekarang penjualan tiket mulai ditertibkan, penumpang dilayani lebih manusiawi, supaya penumpang lebih nyaman tidak berdesak-desakan, maka penjualan tiket sesuai tempat duduk yang tersedia, jika kehabisan tiket silahkan anda mencari  alternative lain.

Baca Juga : Subhanalloh, Awan Berbentuk Lafadz Allah Di Langit Gontor
Baca Juga : Apa Kata Para Tokoh Tentang Pesantren Gontor

Dua hari sebelum keberangkatan, murid saya mengirim pesan, dia bertanya Gontor itu muhamadiyah bukan? Saya tidak segera membalas pesan tadi karena hape saya lowbet. Setelah saya caz, saya hidupkan hape, dan ada empat sms dengan isi pesan sama menanyakan Gontor Muhamadiyah bukan. Saya katakan bahwa Gontor bukan Muhamadiyah, Gontor berdiri di atas dan untuk semua golongan. Ke esokan harinya saya bertemu dengan murid saya. katanya tidak jadi sekolah ke Gontor. Saya tanya kenapa. Tidak tahu Tanya ke bapak saya saja.
Tiba- tiba bapaknya menelpon. Katanya mohon maaf bahwa anaknya tidak bisa meneruskan sekolah ke Gontor dengan alasan tidak mendapat izin dari keluarga kerabat yang ada dibanjar dan cilacap. Katanya, “jangan, jangan sekolah ke Gontor, Gontor itu Muhamadiyah!!”
Saya katakan kepada orang tuanya bahwa Gontor bukan Muhamadiyah juga bukan NU. Gontor netral. Gontor tidak beraviliasi dengan ormas manapun. Adapun nanti setelah keluar dari Gontor terserah pilihan masing-masing mau jadi apa, mau masuk ormas apa. 
Siapa yang tak kenal Ketua Umum Nahdlatul Ulama KH Hasyim Muzadi yang disebut-sebut sebagai representasi dari Muslim tradisional? Siapa yang tak tahu Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. DR. Din Syamsuddin yang dikategorikan sebagai representasi Muslim modernis, dan banyak lagi yang saya jelaskan kepada bapak murid saya ini. Tapi katanya saya tidak bisa melawan mereka, saya harus batalkan menyekolahkan anak saya ke Gontor, saya tidak mau dikucilkan di keluarga besar saya. Biar anak saya sekolah di sini saja (di kampung halaman).

Baca juga : Cerita Cinta Di Gontor (Gontor Love Story)
 
Akhirnya my best student tidak bisa meneruskan sekolah ke Gontor. Ya sudahlah saya hanya bisa berdo’a semoga ini pilihan terbaik buat dia, semoga bisa menemukan tempat yang bisa menyalurkan potensi yang dia miliki. Sampai sekarang pun dia kadang sms saya dengan bahasa inggris. GOOD LUCK, sukses selalu buat kamu my best student.





Advertisement