Advertisement
Advertisement
TIDAK NAIK
KELAS DI GONTOR
Tidak naik kelas di Gontor itu biasa, bukan sesuatu yang
aneh, bukan juga sebuah aib. Dari 700 orang dalam satu marhalah, yang
naik kelas cuma 500 orang, itu biasa terjadi di Gontor. Dengan demikian seluruh
santri (siswa) berlomba, belajar dengan sungguh-sungguh supaya tidak termasuk
yang tidak naik kelas.
Baca juga : GONTOR, BAHASA DAN KECERDASAN
Baca juga : GONTOR, BAHASA DAN KECERDASAN
Di Gontor saya benar-benar merasakan atmosphere belajar yang
sesungguhnya, atmosphere yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Saya benar-benar
merasa ketakutan, takut tidak naik kelas. Sehingga ketika kelas enam, ketika
menjelang ujian akhir, mungkin saya jarang sekali niat untuk tidur, yang ada
adalah ketiduran ketika sedang baca buku. Karena materi ujian semua pelajaran
dari kelas 1 hingga kelas 6. Di samping usaha membaca (menghafal) semua
pelajaran tadi saya tidak lupa berdo’a. karena usaha tanpa do’a sombong, do’a
tanpa usaha bohong. Selain itu juga ditambah dengan amalan-amalan yang lainnya,
seperti tahajud, dluha, puasa senin-kamis dll.
Baca juga : BELAJAR BAHASA = BELAJAR BUDAYA
Baca juga : LAFADZ ALLAH DI LANGIT GONTOR
Baca juga : BELAJAR BAHASA = BELAJAR BUDAYA
Baca juga : LAFADZ ALLAH DI LANGIT GONTOR
Ketika kelas lima dan enam saya hampir tiap malam tahajud. Tiap
malam?? Ya, tiap malam, karena ada sesuatu yang diminta, mohon keluar dari
pondok ini dengan husnul khotimah, selalu naik kelas, lulus ujian akhir kelas
6 dan jadi alumni. Saya katakan husnul khotimah, karena ada beberapa kawan satu angkatan saya berakhir dengan "su'ul khotimah." Seperti tidak naik kelas lalu pulang selamanya, diusir dari pondok karena terkena kasus karena melakukan kabair, atau tidak mendapat ijasah karena tidak kuat atau tidak lulus menjalankan pengabdian.
Supaya bisa bangun malam, saya tidur di kelas di atas bangku
panjang berharap bangun jam 2 atau jam 3 karena terjatuh dari bangku. Atau tidur
di masjid tanpa alas berharap bangun
tengah malam karena kedinginan.
Advertisement