Advertisement
Advertisement
BANYAK CERITA DI GONTOR
Pertama kali mendengar nama Gontor dulu waktu aku duduk di kelas 3 SMP
tahun 1997. Ketika itu terjadi kerusuhan Tasik, penjarahan toko di mana-mana.
Kalau tidak salah kerusuhan Tasik disebabkan adanya oknum polisi yang
menganiaya pengurus pesantren. Jadi kerusuhannya berbau SARA. Pokoknya
kerusuhan Tasik sudah parah banget, katanya dari Gontor aja sudah pada
datang, dengan memakai jubah putih mereka melemparkan batu ke arah toko china dan
meledak. Mereka meludah dah langsung menyala. Wooww sebegitu hebatkah orang
(santri) Gontor?
Hebat???? ya.. hebat. Karena ketika itu santri yang sudah memiliki ilmu kesaktian, semacam kebal terhadap benda tajam, bisa terbang, pukulan jarak jauh,
dan sejenisnya, aku anggap hebat. Pun demikian dengan kiainya. Sang kiai
dikatakan hebat kalau sudah memiliki kesaktian. Ternyata setelah saya mendalami ilmu makrifatulloh, ilmu tauhid, ilmu tasawuf, ternyata semua ilmu-ilmu tadi (kesaktian) adalah
berasal dari jin. Yang bisa menjerumuskan pemiliknya kepada kemusyrikan,
sekalipun mantra atau ajimat yang dibaca adalah ayat-ayat Alqur’an atau dzikir.
Demikian guru saya menjelaskan.
Baca juga : Warna Gontor Dalam Kunjungan Raja Salman
Baca Juga : Pengalaman Pertama Ngobrol Dengan Bule (Bagaimana Saya Memulai)
Baca juga : Warna Gontor Dalam Kunjungan Raja Salman
Baca Juga : Pengalaman Pertama Ngobrol Dengan Bule (Bagaimana Saya Memulai)
Setelah saya lulus SMP, saya bingung harus melanjutkan kemana, ke Sekolah
atau ke Pesantren. Sekolah, ketika itu belum begitu populer, kebanyakan
orang-orang di daerahku hanya sampai SMP. Akhirnya karena ayah saya seorang
ajengan (ustadz), maka saya pun dimasukan ke pesantren salafi yang jauh dari
keramaian, berada di pelosok. Tapi masih di kecamatan saya. Selama enam bulan
di sana saya tidak pernah pulang sekali pun. Sekitar tanggal 25 Ramadhan saya
pulang ke rumah, karena pesantren sudah mulai libur dan sudah mendekati
lebaran.
Tanggal 7 Syawwal ayah saya bilang besok kemas- kemas, bawa semua pakaian
yang diperlukan, besok kita ke Gontor, kamu harus sekolah di sana. Sebenarnya saya tidak mau, takut, karena orang bilang di sana disiplin tinggi, siswanya
harus bicara bahasa arab dan inggris. Sementara saya tidak bisa keduanya. Belajar
bahasa inggris selama tiga tahun di SMP, aku merasa tidak mendapatkan apa-apa,
kecuali sedikit, yaa… beberapa kosa kata saja, yang bisa dihitung dengan jari,
sungguh sebuah kesia-siaan saya pikir. Entah siapa yang salah, sayanya yang
bandel atau gurunya yang ngajarnya tidak menarik, kurang metode, bahkan
terkadang kelihatannya guru bersikap sebodo amat, murid mo ngerti ke, mo enggak
ke, bukan urusan yang terpenting guru sudah menunaikan kewajiban mengajar
sebagai PNS. Ini su’udhdhon saya, mudah-mudahan salah. Padahal di Gontor ada sebuah
jargon, motto, istilah, kata mutiara atau apalah namanya yang sangat populer di
dunia pendidikan Gontor : at-thariqah ahammu mina-l-maddah, wa
al-mudarris ahammu mina-t-thariqah, wa ruhu-l-mudarris ahammu mina-l-mudarris
nafsihi, yang artinya kurang lebih begini : metode lebih penting
dari pada materi (bahan ajar), guru lebih penting dari pada metode, dan ruh
guru (ketika mengajar) lebih penting dari pada guru itu sendiri. Jadi sebagus apapun materi, maka akan gagal bila disampaikan dengan cara atau metode yang salah. Sungguh
kata-kata yang begitu menginspirasi.
Pun demikian dengan
bahasa arab. Tidak lebih bagus dengan bahasa inggris. Saya Cuma hafal beberapa
kosa kata, yang saya perloleh dari Madrasah Diniyah yang biasa diadakan setelah
dhuhur ketika masih duduk di SD dan di pesantren salafi, dengan menghafal 4
sampai 5 kosa kata. Baetun imah babun panto subbakun jandela jidarun bilik..
dan seterusnya, tanpa meletakkan kosa kata tersebut dalam sebuah kalimat seperti
di Gontor. PERTINYIINNYI….., PERTINYI…….INNYI (ah… keseringan nonton si TUKUL)
sekali lagi siapa yang salah? Di pesantren salafi pelajaran bahasa arab hanya
sekedar pelengkap saja. Jadi wajar saja jika ada masyarakat yang mengatakan
buat apa belajar bahasa arab, gak penting. Yang penting itu pelajaran
al-qur’an, hadits. Sekarang kita bertanya Alqur’an memakai bahasa apa?
Hadits-hadits Rosul memakai bahasa apa?
Baca Juga : Cerita Horor Di Gontor
Baca Juga : Cerita Horor Di Gontor
Singkat cerita
tibalah saatnya di mana saya harus berangkat ke Gontor. Dengan berat hati saya
persiapkan semuanya dari pakaian, syarat-syarat yang diperlukan dan lain-lain. Saya ingin berontak, saya gak mau, gak kebayang di sana seperti apa, saya akan
terpenjara, kebebasanku akan terenggut. Tapi walaupun begitu kau tetap berangkat,
ini wujud ketaatan saya pada orang tua. Saya yakin semua orang tua ingin yang
terbaik buat anaknya. Lagi pula kalau orang sunda bilang masa keok memeh
dipacok. Belum apa-apa sudah takut. Akhirnya hari kamis kalau tidak salah, saya
berangkat diantar oleh ayah. Dari rumah setelah dhuhur naik bis dan keesokan
harinya sampai di kota Ponorogo, bumi reog. Ya reog, kampung halamannya
trio macan, yang suka tampil sexy dengan (maaf kata, sorry to say)
goyangan erotis. Reog juga sebuah tarian yang sempat diakui negeri jiran, Malaysia, sebagai budaya mereka.
Baca juga : Bisa Karena Biasa (Hikmah)
Baca juga : Bisa Karena Biasa (Hikmah)
Di terminal saya bersama ayah langsung mencari kendaraan yang menuju Gontor. Akhirnya kita naik angkutan umum L 300, dengan
tarip lumayan tinggi melebihi tarif pada umumnya. Karena kita cuma berdua jadi tarifnya mahal. Padahal sebenarnya ada
angkutan umum yang disewa oleh pondok Gontor untuk melayani penumpang dengan
tujuan pondok Gontor. Ketika itu kita tidak tahu, maka kami mencari angkutan
lain.
Perjalan dari
terminal Seloaji menuju Gontor kurang lebih 15-20 menit. Jalan lurus beraspal
tidak ada tanjakan atau turunan, di sepanjang jalan di sisi kiri dan kanan
terhampar persawahan yang luas, dari jauh nampak pegunungan kebiruan
mengelilingi kota Ponorogo. Lumayan indah memanjakan mata.
Ketika itu mobil
yang saya tumpangi tidak melewati trayek biasa, tapi lewat belakang, jalan
alternatif untuk menuju Gontor. Sopir beralasan supaya tidak ketahuan oleh
ojeg, tukang delman dan tukang becak. Karena mobil angkutan umum dilarang masuk
area pondok. Mobil belok kanan menyusuri jalan tanah merah becek tak
beraspal. Ooo... ternyata Gontor berada di pedalaman jauh dari keramaian, pikirku. Saya akan kembali terpenjara seperti di pesantren-pesantren salafi sebelumnya.
Kebebasanku akan terpasung.
Baca juga : Gontor Ada Di Mana-mana
Baca juga : Gontor Ada Di Mana-mana
Akhirnya kita sampai
di pesantren Gontor. Waaawwww saya terkejut, terperangah. Ternyata Gontor ramai
dengan gedung-gedung tinggi, menara masjid menjulang, orang-orang lalu lalang
ke sana kemari sesuai dengan tujuan masing-masing. Musik nasyid mengalun
memenuhi pondok dari sound system yang ada di tiap asrama. Ternyata Gontor
tidak seperti yang saya bayangkan, Gontor beda. Dari pesantren yang saya singgahi
selama ini. Sesekali terdengar pengumuman atau panggilan dengan menggunakan
bahasa arab. Yang saya sendiri tidak mengerti maksud pengumuman tersebut, karena saya belum bisa berbahasa arab.
Hari itu juga
sebelum shalat jum’at aku mendaftarkan diri diantar oleh ayah. Total biaya
pendaftaran kalau tidak salah Rp. 210.000. Bandingkan dengan tahun sekarang
untuk mendaftar ke Gontor sedikitnya harus ada uang Rp. 5.000.000.
TO BE CONTINUED……
Advertisement